Wednesday, March 21, 2012

Di sela-sela ngantuknya pagi tadi

Pagi tadi tu beda banget. Entah kenapa bangun-bangun gue ngerasa ngantuk, ngantuuk, ngantuuuuk dan NGANTUUUUK!! Shubuhan gue merem-merem, makan sambil merem, di angkot pun merem-merem. Pokoknya judul tadi pagi tu merem-merem deh! Merem gue sedikit melek karena gue ngeh jalanan tadi pagi ga begitu padat dan gue bisa sampe kampus jam 8 kurang... hmmmm yaaa, gue rasa baru tadi pagi deh gue sampe kampus sebegitu awalnya, hahahaha :D

Sampe di kelas, ternyata ngantuk gue nagih.. Sumpah ganggu banget yaaa, secara minggu kemaren gue ketinggalan satu materi karena gue ke Magelang dan pagi tadi gue harap otak, pikiran dan mata gue 'on' untuk ngeh sama bahan kuliah, eeeh ga taunya layu banget malah tadi pagi!

Sambil sok serius ndengerin dosen gue njelasin materi, gue beneran berusaha buat mahamin and nyatet apa yang di jelasin dosen gue di kertas fotokopian..

Daaaan, kebetulan kelas gue tadi tu jendelaan terbuka gitu langsung bisa ngeliat ke luar tanpa penghalang apapun. Seperti mahasiswa pada umumnya, bosen, gue mulai ngerubah-rubah posisi duduk jadi merosot sembari nyuri-nyuri ngobrol sama temen gue dengan nempatin posisi kepala gue satu garis lurus dengan temen yang duduk didepan gue biar ga kegep-kegep amat kalo gue malah ngobrol pas doi nerangin materi..

Tau sendiri kan beberapa hari ini angin emang lagi kenceng-kencengnya.. Lagi bosen gitu tadi, gue memalingkan muka gue ke arah luar, dan betapa gue senengnya merhatiin gerak daun yang ketiup angin, dan awan yang bergerak perlahan-lahan.. Gue juga pandangin lalu lalang kendaraan yang lewat di seberang sana.

Gue perhatiin, betapa cantiknya tarian daun dan ranting-ranting yang bergoyang ketiup angin.. Betapa beragamnya bentuk awan kalo kita mau merhatiin.. Betapa cantiknya langit biru di atas sana. Dan, gue keinget pelajaran geografi pas SMA kemaren, bahwa awan itu berbeda-beda bentuknya sesuai ketinggiannya.. Kalo kalian iseng ngebaca blog ini, kalian bisa liat post-an gue yang ngebahas tentang awan. Dari situ gue mikir aja, betapa banyak kecantikan-kecantikan yang ada dan nyata dalam kehidupan kita sehari-hari dari hal-hal kecil yang kadang sama sekali ga kita perhatiin. Dan gue bersyukur.. Gue bersyukur mata dan hati gue masih bisa nangkep keindahan besar dari hal-hal kecil yang sederhana yang gue temuin sehari-hari. Allahuakbar banget deh pokoknya :)

Monday, March 19, 2012

Perang, Kesehatan Mental dan Prestasi Akademis Anak-anak Palestina


Saat ini telah lebih dari 6 dekade sejak awal pendudukan Israel terhadap Palestina. Sejak saat itu, orang-orang Palestina hidup di bawah peperangan dan kekerasan politik serta militer yang tinggi. Ribuan rakyat Palestina terbunuh dan menderita luka serius, dan ratusan ribu telah terusir dari tanah kelahirannya. Semua aspek kehidupan rakyat Palestina termasuk kesehatan, pendidikan, dan ekonomi terdampak akibat pendudukan ini. Tidak diragukan bahwa konflik militer yang berkepanjangan dan terus terjadi ini telah mempengaruhi kesehatan mental seluruh rakyat.

Seperti pada sebagian besar kasus, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terdampak oleh konflik dan peperangan. Kejadian langsung terhadap konflik dan pendudukan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Perang juga akan secara tidak langsung mempengaruhi anak-anak seperti hal nya kesehatan mental bagi siapa pun yang secara langsung berhubungan dengan mereka, khususnya pengasuh mereka (orangtua dan guru) yang secara potensial berdampak pada kualitas mereka dalam berinteraksi. Tumbuh di bawah kondisi kehidupan yang penuh tekanan dan secara potensial terancam dapat menciptakan hambatan bagi perkembangan anak yang mengarah pada tantangan masa depannya baik di tingkat individu, keluarga dan masyarakat.

Masalah kesehatan mental (masalah emosional dan perilaku) banyak anak-anak Palestina berkembang karena paparan konflik dan perang yang berkelanjutan dapat menjadi tipe yang eksternalis dan/atau yang internalis:
Masalah Eksternalisasi ditandai oleh perilaku yang terang-terangan yang kelihatan mengarah pada orang lain termasuk kesulitan dengan perhatian, perilaku agresif dan mengganggu orang lain serta dalam mematuhi aturan dan peraturan. Anak-anak ini sering terlihat kurang mengontrol diri.

Masalah Internalisasi ditandai oleh perilaku yang terpusat pada diri sendiri dan tersembunyi yang melibatkan penghindaran/penarikan diri, ketakutan yang berlebih, kecemasan dan depresi.
Masalah kesehatan mental yang lebih spesifik yang berkembang dalam diri anak-anak sebagai akibat dari paparan terhadap peperangan dan kekerasan militer yang terus menerus dinamakan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Anak-anak dengan PTSD menunjukkan gejala berulang-ulang seperti gambaran dan mimpi buruk dari kejadian traumatis yang pada awalnya memicu kondisi tersebut, penghindaran dari situasi dan tempat yang mengingatkan kejadian, dan meningkatkan kecemasan yang berwujud pada masalah dengan konsentrasi dan tidur. Sebagai konsekuensi, PTSD mengarah pada kesulitan atau kelemahan dalam fungsi sosial, yang berhubungan dengan pekerjaan atau area fungsional penting lainnya.

Masalah kesehatan mental yang diderita oleh Anak-anak Palestina akibat dari beberapa paparan terhadap peperangan dan kekerasan yang berkelanjutan dapat mengganggu kompetensi kognitif dan tingkah laku mereka (perkembangan sumber daya) termasuk: perhatian, konsentrasi dan daya ingat yang kesemuanya adalah dasar bagi pembelajaran dan pencapaian akademis. Kompetensi kognitif dan perilaku mereka menjadi penuh dengan penderitaan mereka dan digunakan untuk berjuang dan bertahan melawan penderitaan mereka daripada pertumbuhan dan kecakapan pengembangan tugas-tugas.

Proses disfungsional ini mengarah pada terhambatnya keterlibatan efektif anak dalam proses belajar sebagai akibatnya mereka tidak akan dapat mencapai sesuai dengan potensi intelektual mereka. Prestasi mereka yang rendah di sekolah pada gilirannya akan memberikan cerminan yang buruk terhadap rasa percaya diri, motivasi dan minat mereka. Selanjutnya akan menyebabkan kerusakan dalam hal prestasi akademis dan kesehatan mental mereka. Dengan kurangnya perhatian dan intervensi khusus, kepribadian, tingkah laku dan sumber daya kognitif dari banyak anak ini akan terus dipenuhi oleh trauma dan dijadikan untuk melindungi harga diri mereka yang tersisa dan berjuang melawan penderitaan mental mereka daripada dalam hal pelajaran dan prestasi akademis. Hal ini bertahap, akan mengarah pada penarikan mental mereka dari kegiatan akademis sekolah bahkan ketika mereka secara fisik hadir di dalam kelas.

Anak-anak dengan masalah kesehatan mental tidak tersingkirkan dari sekolah-sekolah di Palestina yang berarti positif dan sejalan dengan pergerakan menuju akses pada kualitas Pendidikan untuk Semua (PUS). Namun, penyertaan mereka di sekolah umum bukan disengaja tapi lebih karena rendahnya pengetahuan akan masalah kesehatan mental oleh sistem sekolah dan kurangnya kesadaran akan pentingnya isyu kesehatan mental dan mereka dapat mempengaruhi prestasi akademis anak pada tingkatan yang sama dengan masalah kesehatan fisik (dan bahkan mungkin lebih). Meskipun secara fisik “inklusi” mereka positif, rendahnya pengenalan awal masalah kesehatan mental berlanjut untuk mencabut anak dari intervensi yang efektif. Hal ini tidak berarti bahwa sistem pendidikan tidak menyediakan pelayanan bagi anak-anak dengan masalah kesehatan mental tapi lebih pada program-program konseling yang ada tidak mengarah pada kebutuhan mereka secara efektif.

Walaupun hampir seluruh anak Palestina secara terus-menerus mengahadapi masalah peperangan, kekerasan dan pendudukan, banyak yang tidak mengalami masalah kesehatan mental yang serius atau PTSD dan masih dapat berfungsi dan berprestasi di sekolah sesuai dengan kemampuan intelektual mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan seperti ini bukan menjadi satu acuan saja bagi perkembangan masalah kesehatan mental atau PTSD. Kemudian pertanyaannya adalah mengapa kondisi seperti ini beberapa anak mengalami masalah kesehatan mental dan menderita secara intensif pada pencapaian akademis yang berada di bawah kemampuan mental mereka, sementara yang lainnya tetap bertahan dan dapat pulih dalam beberapa minggu dan melanjutkan sekolah mereka dengan baik?

Dalam menjawab pertanyaan ini dan mengerti lebih tentang kedinamisan ini, kita harus memperhitungkan faktor-faktor personal dan dari luar dariserta faktor lingkungan yang mungkin memainkan peranan dalam menentukan dampak dari kekerasan militer pada kesehatan mental anak. Faktor-faktor ini dapat memiliki dampak yang melindungi atau pun menghasilkan sebuah resiko tambahan bagi kemungkinan perkembangan masalah kesehatan mental yang terus-menerus atau PTSD setelah pengalaman mereka terhadap trauma atau kekerasan militer.

Faktor-faktor personal yang mungkin melindungi kesehatan mental seorang anak adalah kekuatan individu dan sumber daya yang dikembangkan selama tahun-tahun awal kehidupan mereka melalui interaksi yang dinamis dengan lingkungan sekitar mereka. Kekuatan ini, seperti halnya rasa percaya diri, keberhasilan diri, pengendalian diri dan sistem kepercayaan dan nilai yang sehat, membantu anak untuk mengatur dirinya setelah mengalami suatu kejadian untuk menarik dan memperbaiki keseimbangan antara dirinya dan lingkungan dalam waktu yang singkat dan sebelum kerusakan lainnya mempengaruhi kesehatan mentalnya. Anak-anak dengan perkembangan sumber daya yang rendah akan menjadi lebih rentan dan membuat diri mereka kurang dapat mengendalikan diri atau mencapai keseimbangan dalam diri mereka yang akan mempengaruhi kesehatan mental mereka, khususnya jika mereka juga kurang mendapat dukungan dari pengasuh mereka.

Faktor penentu dari luar adalah sistem dukungan sosial dalam lingkungan yang dekat dengan si anak. Di sini kita membicarakan tentang keluarga dan sekolah sebagai seting yang berpengaruh erat dan paling penting. Mutu dari hubungan sosial antara anak dan lingkungan sekitar yang dekat dengannya, termasuk: orangtua; saudara kandung; keluarga; guru, dan; teman sebaya, dapat memediasi antara kejadian kekerasan dan kesehatan mental anak. Hubungan sosial yang berkualitas tinggi antara anak dan orang lain ditandai oleh keramahan, pengertian, rasa nyaman, dukungan, dorongan semangat dan penerimaan yang dapat menahan atau melawan dampak negatif dari kekerasan atau trauma pada kesehatan mental anak. Hal ini membantu anak untuk mencurahkan kompetensi kognitif dan perilakunya menuju pada pencapaian pengembangan tugas, seperti dalam belajar dan prestasi sekolah.

Di sisi lain, kualitas hubungan sosial yang buruk ditandai oleh kekerasan, pengabaian, penolakkan, keputusasaan, dan hukuman bukan hanya mengeluarkan anak dari sumber daya pelindung yang penting tapi juga menciptakan tambahan resiko bagi kesehatan mentalnya.
Anak-anak Palestina yang memiliki kesehatan mental yang baik meskipun terus menerus mengalami kekerasan dan ancaman militer, mereka menikmati hubungan sosial yang efektif dan mendukung baik di rumah dan di sekolah.

Sebagai bukti, kualitas perkembangan sumber daya anak dan keefektifan sistem pendukung sosial mereka, memainkan peran utama dalam perbedaan status kesehatan mental dari anak-anak yang mengalami kekerasan militer yang sama. Konsekuensinya, mengarah pada perbedaan dalam pencapaian akademis mereka. Dengan demikian, untuk melindungi kesehatan mental anak-anak Palestina dan meningkatkan prestasi akademis mereka, penerapan pendidikan inklusif di sekolah sebaiknya tidak hanya terbatas pada penyesuaian kurikulum, metode pengajaran, bahan pelajaran, dan/atau ujian. Hal ini juga menanggapi kebutuhan individual yang spesifik dari anak-anak yang rentan ini melalui pemeliharaan pengembangan sumber daya dan kekuatan mereka serta memperkenalkan keefektifan dari sistem sosial yang berhubungan dengan si anak. Hal ini dapat diterapkan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang aman, peduli, mendukung, memberi semangat dan menerima yang memudahkan anak untuk mengolah pengalaman stress dengan sukses. Lingkungan seperti ini akan membantu kesiapan mereka untuk belajar.

Dalam konteks ini, staf sekolah mungkin membutuhkan pelatihan tambahan tentang bagaimana kualitas interaksi mereka dengan anak-anak dapat meningkatkan perkembangan sumber daya mereka, dan mereka perlu untuk peka tentang bagaimana hal ini dapat melindungi kesehatan mental anak-anak. Sebagai tambahan, ketrampilan para guru tentang bagaimana untuk bertindak dan berinteraksi dengan anak-anak di bawah situasi darurat seharusnya ditingkatkan. Karena hubungan sosial dengan teman sebaya adalah faktor pelindung penting, para guru perlu untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang meningkatkan kegiatan rekreasional yang memperkuat hubungan sosial dengan teman sebaya di antara anak-anak. Dalam bidang pendidikan inklusif, peran guru juga diperluas dengan memberi kepekaan para orangtua tentang praktek efektif terhadap perkembangan anak di bawah kondisi darurat, pendudukan dan peperangan, khususnya bagaimana untuk bersikap pada anak setelah mengalami kekerasan militer. Selain itu, para orangtua haruslah peka tentang betapa pentingnya suasana keluarga yang hangat, kompak, berpengertian, saling bekerja sama dan tanggap dalam melindungi kesehatan mental anak merela dari dampak kekerasan militer. Terakhir dan yang terpenting, kekerasan militer dan pendudukan haruslah diakhiri sehingga generasi baru dapat menikmati kesehatan mental yang baik dan dapat mengembangkan potensi mereka hingga maksimal.

Usulan Perubahan Kriteria DSM-V untuk Penyandang Autis

Arlington, Psikologi Zone – American Psychiatric Association (APA) telah mengusulkan kriteria diagnostik baru dalam edisi kelima dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) untuk penyandang autis. Hal ini disampaikan dalam rilis resmi dari APA, Jum’at (19/1/2012). Sementara keputusan akhir masih satu bulan lagi, rekomendasi ini merupakan hasil penelitian dan didukung lebih dari satu dekade yang intensif dan analisis.


DSM adalah manual yang digunakan oleh dokter dan peneliti untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan gangguan mental. American Psychiatric Association (APA) akan menerbitkan DSM-V pada tahun 2013, yang merupakan proses revisi selama 14 tahun.

Usulan oleh DSM-5 Neurodevelopmental Work Group merekomendasikan sebuah kategori baru yang disebut autism spectrum disorder. Kategori ini akan menggabungkan beberapa diagnosa yang sebelumnya terpisah, termasuk autis, gangguan Asperger, gangguan disintegrasi masa kanak-kanak dan gangguan perkembangan pervasif.

Proposal tersebut menegaskan bahwa gejala pada keempat gangguan tersebut merupakan kontinum dari ringan sampai berat, bukan diagnosis sederhana yang terpisah untuk gangguan tertentu. Kriteria diagnostik yang diusulkan untuk autism spectrum disorder menentukan tingkat keparahan dan menggambarkan status perkembangan individu secara keseluruhan, terutama dalam komunikasi sosial dan kognitif juga perilaku motorik.

Dr. James Scully, Direktur Medis dari American Psychiatric Association mengatakan, “Kriteria yang diusulkan akan mengakibatkan diagnosis yang lebih akurat dan akan membantu dokter dan terapis merancang intervensi pengobatan yang lebih baik bagi anak-anak yang menderita autism spectrum disorder.”
Draft kriteria DSM-V akan memberikan penilaian dimensi yang lebih bermanfaat untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas kriteria. Perubahan ini akan membantu dokter lebih akurat mendiagnosis orang dengan gejala dan perilaku yang relevan.

Usulan kriteria DSM-V ini tidak akan merubah jumlah pasien autism spectrum disorder yang saat ini menerima perawatan di pusat pengobatan. Diagnosis baru ini akan membantu untuk mengarahkan pada pengobatan yang lebih terfokus.(mba)




Kesehatan Mental

Pengertian Kesehatan Mental
Mental hygienie merujuk pada pengembangan dan aplikasi seperangkat prinsip-prinsip praktis yang diarahkan kepada pencapaian dan pemeliharaan unsur psikologis dan pencegahan dari kemungkinan timbulnya kerusakan mental atau maladjustment. Kesehatan mental terkait dengan 1) bagaimana kita memikirkan, merasakan, menjalani kehidupan sehari-hari, 2) bagaimana memandang diri sendiri dan orang lain, 3) bagaimana kita mengevaluasi berbagai alternatif dalam mengambil keputusan. Seperti halnya kesehatan fisik, kesehatan mental sangat penting bagi setiap fase kehidupan. Kesehatan mental meliputi upaya-upaya mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, dan mengambil keputusan.
Kesehatan mental menurut para ahli :
1.       Hadfield : upaya pemeliharaan mental yang sehat dan mencegah agar mental tidak sakit.
2.       Alexander Schneider : suatu seni yang praktis dalam mengembangkan dan menggunakan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kesehatan mental dan penyesuaian diri, serta pencegahan dari gangguan-gangguan psikologis.
3.       Carl Witherington : ilmu pemeliharaan kesehatan mental atau sistem tentang prinsip, metode, dan teknik dalam mengembangkan mental yang sehat.

Karakteristik mental yang sehat :
1.       Terhindar dari gangguan jiwa
Zakiyah Daradjat (1975) mengemukakan perbedaan antara gangguan jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psikose), yaitu :
ð  Neurose masih mengetahui dan merasakan kesukarannya, sebaliknya psikose tidak.
ð  Neurose kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya. Sedangkan psikose kepribadiannya dari segala segi (tanggapan, perasaan, emosi, dan dorongan-dorongan) sangat terganggu, tidak ada integritas, dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.
2.       Dapat menyesuaikan diri
Penyesuaian diri (self adjustment) merupakan proses untuk memperoleh atau memenuhi kebutuhan, dan mengatasi stres, konflik, frustasi, serta masalah-masalah tertentu dengan cara-cara tertentu. Seseorang dapat dikatakan memiliki penyesuaian diri yang normal apabila dia mampu memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya secara wajar, tidak merugikan diri sendiri dan lingkungannya, serta sesuai dengan norma agama.
3.       Memanfaatkan potensi semaksimal mungkin
Individu yang sehat mentalnya adalah yang mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya, dalam kegiatan-kegiatan yang positif dan konstruktif bagi pengembangan kualitas dirinya. Pemanfaatan kegiatan itu seperti dalam kegiatan belajar, bekerja, berorganisasi, pengembangan hobi dan berolahraga.
4.       Tercapainya kebahagiaan pribadi dan orang lain
Orang yang sehat mentalnya menampilkan perilaku atau respon terhadap situasi dalam memenuhi kebutuhannya, memberikan dampak yang positif bagi dirinya dan atau orang lain. Dia mempunyai prinsip bahwa tidak mengorbankan hak orang lain demi kepentingan diri sendiri diatas kerugian orang lain. Segala aktifitasnya ditujukan untuk mencapai kebahagiaan bersama.

PENGERTIAN KESEHATAN MENTAL

Kesehatan Mental
Pengetahuan tentang kesehatan mental berkembang secara luas di negara-negara maju, terutama dalam beberapa tahun belakangan ini. Di beberapa negara pembahasan kesehatan mental telah sampai pada tingkat mencari jalan pencegahan agar orang tidak menderita kegelisahan dan gangguan jiwa. Meskipun sering digunakan istilah kesehatan mental, namun pengertiannya masih kabur dan kurang jelas bagi orang awam.

Daradjat (1995:11) memberi definisi kesehatan mental, antara lain :
1.       Kesehatan mental adalah terhindarinya seseorang dari gejala gangguan jiwa (neurose) dan gaejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
2.       Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyeseuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyatakat serta lingukungan dimana ia hidup.
3.       Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan penyakit jiwa.
4.       Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa seta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang bisa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.

Sedangkan menurut Bastaman (1995:132) mengutip pendapat Saparinah Sadli, guru besar Fakultas Psikologi UI tentang kesehatan mental, yaitu :
1.       Orientasi klasik. Seseorang dianggap sehat jika ia tidak memiliki keluhan tertentu, seperti ; ketenangan, rasa lelah, cemas, rendah diri, atau perasaan tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan “sakit” atau “tidak sehat” serta mengganggu efisiensi aktivitas sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di lingkungan kedokteran.
2.       Orientasi penyesuaian diri. Seseorang dianggap sehat secara psikologis, bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan orang lain serta lingkungan di sekitarnya.
3.       Orientasi pengembangan potensi. Seseorang di anggap sehat, bila ia mendapat kesempatan untuk mengambangkan potensinya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain serta dirinya sendiri.
Dari pelbagai definisi diatas, dapat disimpulkan, bahwa kesehatan mental adalah suatu kondisi yang dialami seseorang yang mana ia tidak mendapatkan gangguan atau penyakit jiwa, sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri serta dengan lingkungannya, serta mampu mengembangkan potensi yang dia miliki secara harmonis dan seimbang.

Adapun gangguan atau penyakit jiwa di masyarakat antara lain :
1.       Fobia, yaitu rasa takut yang tidak rasional dan tidak realistis, yang bersangkutan tahu dan sadar benar akan ketidakrasionalannya dan ketidakbenarannya, namun ia tidak mampu mencegah dan mengendalikan diri dari rasa takut itu.
2.       Obsesi, yaitu corak pikiran yang sifatnya terpaku(persistent) dan berulangkali muncul. Yang bersangkutan tahu benar akan kelainan pikirannya itu, namun ia taidak mampu mengalihkan pikirannya pada masalah lain dan tidak mampu mencegah munculnya pikiran itu yang selalu timbul berulang-ulang.
3.       Kompulsi, yaitu suatu pola tindakan atau perbuatan yang diulang-ulang. Yang bersangkutan tahu benar bahwa perbuatan mengulang-ulang itu tidak benar dan tidak rasional, namun yang bersangkutan tidak mampu mencegah perbuatannya sendiri. (Hawari, 1995:253)

Kategori atau Penggolongan Kesehatan Mental :
1.       Gangguan Sematofarm
Gejalanya bersifat fisik, tetapi terdapat dasar organik dan faktor-faktor psikologis.
2.       Gangguan Disosiatif
Perubahan sementara fungsi-fungsi kesadaran, ingatan atau identitas yang disebabkan masalah emosional.
3.       Gangguan Psikoseksual
Termasuk masalah identitas seksual (impoten, ejakulasi, pramatang, frigiditas) dan tujuan seksual.
4.       Kondisi yang tidak dicantumkan sebagai gangguan jiwa
Mencakup banyak masalah yang dihadapi orang-orang yang membutuhkan pertolongan seperti perkawinan, kesulitan orang tua, perlakuan kejam pada anak.
5.       Gangguan Kepribadian
Pola perilaku maladaptif yang sudah menahun yang merupakan cara-cara yang tidak dewasa dan tidak tepat dalam mengatasi stres atau pemecahan masalah.
6.       Gangguan yang terlihat sejak bayi, masa kanak-kanak atau remaja
Meliputi keterbelakangan mental, hiperaktif, emosi pada anak-anak, gangguan dalam hal makan.
7.       Gangguan Jiwa Organik
Terdapat gejala psikologis langsung terkait dengan luka pada otak atau keabnormalan lingkungan biokimianya sebagai akibat dari usia tua.
8.       Gangguan penggunaan zat-zat
Penggunaan alkohol berlebihan, obat bius, insulin, anfetamin, kokain dan obat-obatan yang mengubah perilaku.
9.       Gangguan Skizofrenik
Serangkaian gangguan yang dilandasi dengan hilangnya kontak dengan realitas, sehingga pikiran, persepsi, dan perilaku menjadi kacau.
10.   Ganguan Paranoid
Gangguan yang ditandai dengan kecurigaan dan sifat permusuhan yang berlebihan disertai perasaan yang dikejar-kejar.
11.   Gangguan Afektif
Gangguan suasana hati (mood) yang normal, penderita mungkin mengalami depresi yang berat, gembira yang abnormal, dan berganti antara saat gembira dan depresi.
12.   Gangguan Kecemasan
Gangguan dimana rasa cemas merupakan gejala utama atau rasa cemas dialami bila individu tidak menghindari situasi-situasi tertentu yang ditakuti.