Monday, March 19, 2012

Perang, Kesehatan Mental dan Prestasi Akademis Anak-anak Palestina


Saat ini telah lebih dari 6 dekade sejak awal pendudukan Israel terhadap Palestina. Sejak saat itu, orang-orang Palestina hidup di bawah peperangan dan kekerasan politik serta militer yang tinggi. Ribuan rakyat Palestina terbunuh dan menderita luka serius, dan ratusan ribu telah terusir dari tanah kelahirannya. Semua aspek kehidupan rakyat Palestina termasuk kesehatan, pendidikan, dan ekonomi terdampak akibat pendudukan ini. Tidak diragukan bahwa konflik militer yang berkepanjangan dan terus terjadi ini telah mempengaruhi kesehatan mental seluruh rakyat.

Seperti pada sebagian besar kasus, anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terdampak oleh konflik dan peperangan. Kejadian langsung terhadap konflik dan pendudukan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Perang juga akan secara tidak langsung mempengaruhi anak-anak seperti hal nya kesehatan mental bagi siapa pun yang secara langsung berhubungan dengan mereka, khususnya pengasuh mereka (orangtua dan guru) yang secara potensial berdampak pada kualitas mereka dalam berinteraksi. Tumbuh di bawah kondisi kehidupan yang penuh tekanan dan secara potensial terancam dapat menciptakan hambatan bagi perkembangan anak yang mengarah pada tantangan masa depannya baik di tingkat individu, keluarga dan masyarakat.

Masalah kesehatan mental (masalah emosional dan perilaku) banyak anak-anak Palestina berkembang karena paparan konflik dan perang yang berkelanjutan dapat menjadi tipe yang eksternalis dan/atau yang internalis:
Masalah Eksternalisasi ditandai oleh perilaku yang terang-terangan yang kelihatan mengarah pada orang lain termasuk kesulitan dengan perhatian, perilaku agresif dan mengganggu orang lain serta dalam mematuhi aturan dan peraturan. Anak-anak ini sering terlihat kurang mengontrol diri.

Masalah Internalisasi ditandai oleh perilaku yang terpusat pada diri sendiri dan tersembunyi yang melibatkan penghindaran/penarikan diri, ketakutan yang berlebih, kecemasan dan depresi.
Masalah kesehatan mental yang lebih spesifik yang berkembang dalam diri anak-anak sebagai akibat dari paparan terhadap peperangan dan kekerasan militer yang terus menerus dinamakan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Anak-anak dengan PTSD menunjukkan gejala berulang-ulang seperti gambaran dan mimpi buruk dari kejadian traumatis yang pada awalnya memicu kondisi tersebut, penghindaran dari situasi dan tempat yang mengingatkan kejadian, dan meningkatkan kecemasan yang berwujud pada masalah dengan konsentrasi dan tidur. Sebagai konsekuensi, PTSD mengarah pada kesulitan atau kelemahan dalam fungsi sosial, yang berhubungan dengan pekerjaan atau area fungsional penting lainnya.

Masalah kesehatan mental yang diderita oleh Anak-anak Palestina akibat dari beberapa paparan terhadap peperangan dan kekerasan yang berkelanjutan dapat mengganggu kompetensi kognitif dan tingkah laku mereka (perkembangan sumber daya) termasuk: perhatian, konsentrasi dan daya ingat yang kesemuanya adalah dasar bagi pembelajaran dan pencapaian akademis. Kompetensi kognitif dan perilaku mereka menjadi penuh dengan penderitaan mereka dan digunakan untuk berjuang dan bertahan melawan penderitaan mereka daripada pertumbuhan dan kecakapan pengembangan tugas-tugas.

Proses disfungsional ini mengarah pada terhambatnya keterlibatan efektif anak dalam proses belajar sebagai akibatnya mereka tidak akan dapat mencapai sesuai dengan potensi intelektual mereka. Prestasi mereka yang rendah di sekolah pada gilirannya akan memberikan cerminan yang buruk terhadap rasa percaya diri, motivasi dan minat mereka. Selanjutnya akan menyebabkan kerusakan dalam hal prestasi akademis dan kesehatan mental mereka. Dengan kurangnya perhatian dan intervensi khusus, kepribadian, tingkah laku dan sumber daya kognitif dari banyak anak ini akan terus dipenuhi oleh trauma dan dijadikan untuk melindungi harga diri mereka yang tersisa dan berjuang melawan penderitaan mental mereka daripada dalam hal pelajaran dan prestasi akademis. Hal ini bertahap, akan mengarah pada penarikan mental mereka dari kegiatan akademis sekolah bahkan ketika mereka secara fisik hadir di dalam kelas.

Anak-anak dengan masalah kesehatan mental tidak tersingkirkan dari sekolah-sekolah di Palestina yang berarti positif dan sejalan dengan pergerakan menuju akses pada kualitas Pendidikan untuk Semua (PUS). Namun, penyertaan mereka di sekolah umum bukan disengaja tapi lebih karena rendahnya pengetahuan akan masalah kesehatan mental oleh sistem sekolah dan kurangnya kesadaran akan pentingnya isyu kesehatan mental dan mereka dapat mempengaruhi prestasi akademis anak pada tingkatan yang sama dengan masalah kesehatan fisik (dan bahkan mungkin lebih). Meskipun secara fisik “inklusi” mereka positif, rendahnya pengenalan awal masalah kesehatan mental berlanjut untuk mencabut anak dari intervensi yang efektif. Hal ini tidak berarti bahwa sistem pendidikan tidak menyediakan pelayanan bagi anak-anak dengan masalah kesehatan mental tapi lebih pada program-program konseling yang ada tidak mengarah pada kebutuhan mereka secara efektif.

Walaupun hampir seluruh anak Palestina secara terus-menerus mengahadapi masalah peperangan, kekerasan dan pendudukan, banyak yang tidak mengalami masalah kesehatan mental yang serius atau PTSD dan masih dapat berfungsi dan berprestasi di sekolah sesuai dengan kemampuan intelektual mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan seperti ini bukan menjadi satu acuan saja bagi perkembangan masalah kesehatan mental atau PTSD. Kemudian pertanyaannya adalah mengapa kondisi seperti ini beberapa anak mengalami masalah kesehatan mental dan menderita secara intensif pada pencapaian akademis yang berada di bawah kemampuan mental mereka, sementara yang lainnya tetap bertahan dan dapat pulih dalam beberapa minggu dan melanjutkan sekolah mereka dengan baik?

Dalam menjawab pertanyaan ini dan mengerti lebih tentang kedinamisan ini, kita harus memperhitungkan faktor-faktor personal dan dari luar dariserta faktor lingkungan yang mungkin memainkan peranan dalam menentukan dampak dari kekerasan militer pada kesehatan mental anak. Faktor-faktor ini dapat memiliki dampak yang melindungi atau pun menghasilkan sebuah resiko tambahan bagi kemungkinan perkembangan masalah kesehatan mental yang terus-menerus atau PTSD setelah pengalaman mereka terhadap trauma atau kekerasan militer.

Faktor-faktor personal yang mungkin melindungi kesehatan mental seorang anak adalah kekuatan individu dan sumber daya yang dikembangkan selama tahun-tahun awal kehidupan mereka melalui interaksi yang dinamis dengan lingkungan sekitar mereka. Kekuatan ini, seperti halnya rasa percaya diri, keberhasilan diri, pengendalian diri dan sistem kepercayaan dan nilai yang sehat, membantu anak untuk mengatur dirinya setelah mengalami suatu kejadian untuk menarik dan memperbaiki keseimbangan antara dirinya dan lingkungan dalam waktu yang singkat dan sebelum kerusakan lainnya mempengaruhi kesehatan mentalnya. Anak-anak dengan perkembangan sumber daya yang rendah akan menjadi lebih rentan dan membuat diri mereka kurang dapat mengendalikan diri atau mencapai keseimbangan dalam diri mereka yang akan mempengaruhi kesehatan mental mereka, khususnya jika mereka juga kurang mendapat dukungan dari pengasuh mereka.

Faktor penentu dari luar adalah sistem dukungan sosial dalam lingkungan yang dekat dengan si anak. Di sini kita membicarakan tentang keluarga dan sekolah sebagai seting yang berpengaruh erat dan paling penting. Mutu dari hubungan sosial antara anak dan lingkungan sekitar yang dekat dengannya, termasuk: orangtua; saudara kandung; keluarga; guru, dan; teman sebaya, dapat memediasi antara kejadian kekerasan dan kesehatan mental anak. Hubungan sosial yang berkualitas tinggi antara anak dan orang lain ditandai oleh keramahan, pengertian, rasa nyaman, dukungan, dorongan semangat dan penerimaan yang dapat menahan atau melawan dampak negatif dari kekerasan atau trauma pada kesehatan mental anak. Hal ini membantu anak untuk mencurahkan kompetensi kognitif dan perilakunya menuju pada pencapaian pengembangan tugas, seperti dalam belajar dan prestasi sekolah.

Di sisi lain, kualitas hubungan sosial yang buruk ditandai oleh kekerasan, pengabaian, penolakkan, keputusasaan, dan hukuman bukan hanya mengeluarkan anak dari sumber daya pelindung yang penting tapi juga menciptakan tambahan resiko bagi kesehatan mentalnya.
Anak-anak Palestina yang memiliki kesehatan mental yang baik meskipun terus menerus mengalami kekerasan dan ancaman militer, mereka menikmati hubungan sosial yang efektif dan mendukung baik di rumah dan di sekolah.

Sebagai bukti, kualitas perkembangan sumber daya anak dan keefektifan sistem pendukung sosial mereka, memainkan peran utama dalam perbedaan status kesehatan mental dari anak-anak yang mengalami kekerasan militer yang sama. Konsekuensinya, mengarah pada perbedaan dalam pencapaian akademis mereka. Dengan demikian, untuk melindungi kesehatan mental anak-anak Palestina dan meningkatkan prestasi akademis mereka, penerapan pendidikan inklusif di sekolah sebaiknya tidak hanya terbatas pada penyesuaian kurikulum, metode pengajaran, bahan pelajaran, dan/atau ujian. Hal ini juga menanggapi kebutuhan individual yang spesifik dari anak-anak yang rentan ini melalui pemeliharaan pengembangan sumber daya dan kekuatan mereka serta memperkenalkan keefektifan dari sistem sosial yang berhubungan dengan si anak. Hal ini dapat diterapkan dengan menciptakan lingkungan sekolah yang aman, peduli, mendukung, memberi semangat dan menerima yang memudahkan anak untuk mengolah pengalaman stress dengan sukses. Lingkungan seperti ini akan membantu kesiapan mereka untuk belajar.

Dalam konteks ini, staf sekolah mungkin membutuhkan pelatihan tambahan tentang bagaimana kualitas interaksi mereka dengan anak-anak dapat meningkatkan perkembangan sumber daya mereka, dan mereka perlu untuk peka tentang bagaimana hal ini dapat melindungi kesehatan mental anak-anak. Sebagai tambahan, ketrampilan para guru tentang bagaimana untuk bertindak dan berinteraksi dengan anak-anak di bawah situasi darurat seharusnya ditingkatkan. Karena hubungan sosial dengan teman sebaya adalah faktor pelindung penting, para guru perlu untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang meningkatkan kegiatan rekreasional yang memperkuat hubungan sosial dengan teman sebaya di antara anak-anak. Dalam bidang pendidikan inklusif, peran guru juga diperluas dengan memberi kepekaan para orangtua tentang praktek efektif terhadap perkembangan anak di bawah kondisi darurat, pendudukan dan peperangan, khususnya bagaimana untuk bersikap pada anak setelah mengalami kekerasan militer. Selain itu, para orangtua haruslah peka tentang betapa pentingnya suasana keluarga yang hangat, kompak, berpengertian, saling bekerja sama dan tanggap dalam melindungi kesehatan mental anak merela dari dampak kekerasan militer. Terakhir dan yang terpenting, kekerasan militer dan pendudukan haruslah diakhiri sehingga generasi baru dapat menikmati kesehatan mental yang baik dan dapat mengembangkan potensi mereka hingga maksimal.

No comments:

Post a Comment