Wednesday, August 8, 2012

CUACA

Cuaca bagi kami adalah metafora. Menanyakan cuaca menjadi ungkapan yang digunakan saat masing-masing pihak menyimpan hal lain yang gentar di utarakan.

“Bagaimana cuacamu?”
“Aku biru.”
“Aku kelabu.”

Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menalikannya. Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran tebak-menebak, agar yang tersirat tetap tak tersurat.

“Bagaimana cuacamu?”
“Aku cerah, samasekali tidak berawan. Kamu?”
“Bersih dan tenang. Tak ada awan.”
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya tergugu karena telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian : menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.

Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.

-Dee, Filosofi Kopi

No comments:

Post a Comment