“Bagaimana cuacamu?”
“Aku biru.”
“Aku kelabu.”
Keangkuhan memecah jalan kami, kendati cuaca menalikannya.
Kebisuan menjebak kami dalam permainan dugaan, lingkaran tebak-menebak, agar
yang tersirat tetap tak tersurat.
“Bagaimana cuacamu?”
“Aku cerah, samasekali tidak berawan. Kamu?”
“Bersih dan tenang. Tak ada awan.”
Batinku meringis karena berbohong. Batinnya tergugu karena
telah dibohongi. Namun kesatuan diri kami telah memutuskan demikian :
menampilkan cerah yang tak sejati karena awan mendung tak pantas jadi pajangan.
Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin
dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang
bersinar. Entah menghangatkan atau menghanguskan.
-Dee, Filosofi Kopi
No comments:
Post a Comment